Minggu, 12 Juni 2011

Cinta & Kejujuran


Ada banyak apresiasi iman, ibadah dan cinta. Mungkin seorang beribadah dengan penghayatan ibadah sebagai pedagang, ia berkiblat kepada keuntungan. Ada penghayatan ibadah sebagai jalan pembebasan. Ada pengabdian yang semata-mata berangkat karena ingin mencintai, memberi, menikmati pengabdian yang hakiki dalam wujud ketundukan dan pengorbanan.


Suatu hari berlangsung diskusi antara empat orang tokoh: Rabi’ah Al Adawiyah, Sufyan Ats Tsauri, Syaqiq Al Balkhi dan Malik bin Dinar. Rabi’ah meminta mereka mendefinisikan kejujuran.
Sufyan Ats Tsauri :
“Tak jujur pengakuan (cinta) seseorang yang tak bersabar menahan pukulan tuannya.”
Syaqiq Al Balkhi :
“Tak jujur pengakuan seseorang yang tak bersyukur atas pukulan tuannya.”
Malik bin Dinar :
“Tak jujur pengakuan seseorang yang bernikmat-nikmat dipukul tuannya.”
Rabi’ah Al Adawiyah :
“Tak jujur pengakuan seseorang yang tak melupakan pukulan ketika menghadap tuannya.”


Demikianlah tingkat-tingkat kematangan manusia dalam kejujuran dan kepribadian mereka. Ada orang yang begitu sabar menahan derita hidup. Ada yang begitu tahan menerima derita da’wah. Dan ada yang begitu bersyukur bahkan menikmati derita tersebut sebagai karunia. Semuanya indah, terutama pada sang totalis (shahibut tajrid) yang tak menyadari derita, karena yang ada hanyalah DIA.


Banyak orang yang mengenal kejujuran yang belum beranjak dari kejujuran mulut, belum lagi ke hati, apalagi yang paling dalam. Mengapa engkau percaya pujian orang yang tak mengenal hakekat dirimu. Padahal engkau tahu dirimu tak berhak untuk hal tersebut. Suatu hari Rasulullah ditanya: “Mungkinkah seorang Muslim berzina?” Beliau menjawab “Ya, mungkin.” Mencuri? “Ya, mungkin.” Berdusta? “Tidak, demi Allah, dia tidak mungkin berdusta!” Barangsiapa berhati jujur tentulah tak akan mendustai hatinya yang tak pernah bisa didustai.


Dengan berbagai macam alasan, 80-an munafiqin kelas berat menghindari mobilisasi Tabuk. Saat Rasulullah SAW kembali dari perang yang Allah sendiri menyebutnya sebagai ”sa’atul ‘usrah” (saat-saat sulit), mereka telah menunggu di depan masjid dan menyambut kedatangan beliau dengan persiapan matang dan alasan yang memukau, tentang mengapa mereka tak ikut perang Tabuk. Ka’ab bin Malik seorang sahabat utama yang tak pernah absen dalam setiap pertempuran -kecuali Badar- mengajukan kalimat terang dan jujur sebagai pilihan terpahit dan mereka tak ingin membohongi Rasulullah SAW agar dapat dimaklumi dan dimaafkan. Kepadanya Rasulullah menyatakan: “Amma hadza faqad shadaq,” (Adapun orang ini, maka benarlah ia).




 
SUMBER:
Alm KH. Rahmat Abdullah (Allahu yarham), “WARISAN SANG MURABBI” Bab 6 Fitrah dan Kejujuran Cinta : Hlm.34-35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar